Rabu, 07 Mei 2014

Sepasang Sandal

Seorang bapak, saat turun diri bis, sandal kirinya copot dan tertinggal dalam bis. Sayangnya, pintu bis yang otomatis itu, segera tertutup begitu bapak tersebut turun. Akhirnya, dengan sigap, sang bapak ini melepas sandal sebelah kanannya dan melemparkannya ke dalam bis melalui celah cendela yang terbuka. Tentu, dengan cara berhati-hati agar tidak mengenai penumpang lain. Bis yang sedang berjalan pelan itu pun semakin menjauh darinya.

Kemudian, ada seseorang yang terheran-heran melihat perilaku sang bapak. Lalu, ia bertanya, "Pak, mengapa bapak melempar sandal bapak yang tinggal sebelah itu?"

Sang bapak pun menjawab,"Sandal saya yang kiri tertinggal di bis. Jika pun saya tetap pakai yang sebelah kanan, tentu kurang bermanfaat, karena hanya sebelah. Saya akhirnya pasti akan mengganti dengan sandal baru. Makanya, saya lempar saja sandal sebelah kanan itu ke dalam bis, agar orang yang menemukannya bisa lebih memanfaatknnya, karena sandal di bis itu ada sepasang."

Demikianlah kecerdikan seseorang yang berhasil melatih dirinya untuk reflek membaca peluang kebaikan di balik peristiwa yang sama sekali tidak terprediksikan sebelumnya. Tentu saja, bapak tersebut bisa saja menuai kemaksiatan, jika bersikap menggerutu dan mengutuk peristiwa itu. Tapi, sang bapak tidak berbuat demikian dan memilih peluang yang lain yaitu peluang kebaikan.

Sikap seperti yang dilakukan oleh sang bapak ini, hanya bisa dilakukan oleh mereka yang dibimbing Allah dalam mengarungi kehidupan. Semoga, kita menjadi golongan orang yang senantiasa mendapatkan bimbingan dan tuntunan-Nya. Sehingga, setiap peristiwa apapun, menyenangkan atau tidak menyenangkan, selalu menjadi lahan kebaikan untuk kita.


Sumber : Majalah Nurul Hayat Edisi 123 April 2014, hal.46

Senin, 07 April 2014

Hidup itu seperti SEPOTONG ROTI

Hidup itu seperti sepotong roti. Berawal dari bagian-bagian tak berarti jika hanya berdiri sendiri. Terigu, telur, mentega, gula, ragi dan lainnya. Tapi ketika itu semua disatukan dan diproses, menjadi kudapan bernilai tinggi.

Tantangan pertama yang dihadapi dalam kehidupan roti adalah perlakuan "kasar". Diaduk, diputar, diremas, dibanting, diuleni terus menerus. Anehnya, perlakuan ini ternyata tidak membuatnya menjadi rusak, tapi malah membuatnya tambah menyatu. Perlakuan kasar ini malah membuatnya menjadi lebih lembut dan kalis.

Setelah menyatu, adonan dibiarkan atau bahkan kadang ditutup dengan kain basah, sampai mengembang. Seperti itulah mereka yang berhasil melewati fase penyatuan, berkembang menjadi besar. Individu yang tetap sendiri, tak dapat penambahan nilai selain dirinya sendiri. Tak bisa kita pungkiri, ada sebagian diantara kita gagal berkembang, mungkin karena gagal berkembang, mungkin karena gagal dalam tahap penyatuan yang penuh tekanan itu.

Tantangan tak berhenti sampai disitu. Cobaan berikutnya dalam kehidupan roti adalah dipotong-potong sesuai bentuk yang diinginkan. Dicabik, dipotong, digiling lagi. Tapi hal ini pun tidak membuatnya rusak. Ternyata proses inilah yang menjadikan tiap individu roti mulai mendapatkan identitasnya. Apakah sebagai long john, roti kasur, kadet, donat atau yang lainnya.

Puncak tantangan pada roti adalah diproses berikutnya yaitu dipanggang atau digoreng. Tempaan dengan panas yang luar biasa ini membuat roti semakin matang dan berkembang. Warnanya pun berubah menjadi lebih menarik, tidak lagi pucat.

Hanya yang berhasil melalui semua proses ini, mulai dari diputar dan dibanting, didiamkan bahkan ditutup, dipotong, dicabik dan digilling. Lalu pada akhirnya ditempa dengan panas yang tinggi. Akan berkembang dengan sempurna dan matang, lalu kemudian dihias dengan cantik.

Maka jika sedang merasa diacak-acak hidup ini, diputar-putar kepala ini, campur aduk rasanya tidak karuan, dibanting berkali-kali, mungkin itu tandanya kita sedang berproses menjadi lebih lembut namun kuat.

Jika sedang merasa pengap, ditutup dengan kain basah, ditinggalkan begitu saja. Berbahagialah, itu tandanya kita sedang mengembangkan diri seperti adonan roti tadi.

Jika sedang merasa dipotong, dicabik dan digilas. Nikmati saja, karena itu artinya sedang diberi identitas, menjadi unik dibedakan dengan yang lain.

Dan jika ada tempaan panas dan tekanan yang luar biasa. Bersabarlah sedikit lagi, karena inilah proses pematangan dan pengembangan diri untuk menjadi sempurna. Hanya yang berhasil lolos dari ujian ini pada akhirnya dihias dengan cantik.


Sumber : Nurul Hayat, Edisi 122 Maret 2014, Hal.44

Kamis, 27 Februari 2014

Pesan Terakhir Alexander The Great

Setelah mengalahkan berbagai kerajaan, Alexander Agung pun kembali ke kerajaannya sendiri. Dalam perjalanan itu Alexander jatuh sakit. Dia pun menyadari bahwa kerajaannya, pasukannya, pedang yang tajam dan semua kekayaannya tidak bisa menolongnya. Karena sadar bahwa peluangnya untuk hidup tipis, ia memanggil jenderalnya dan menyampaikan pesan terakhir.
"Saya mungkin akan segera mati. Dan saya punya tiga permintaan. Laksanakan permintaan itu dengan sebaik-bainya:

Permintaanku pertama adalah, dokterku sendiri yang harus memikul peti jenasahku. Kedua, tebarkan emas, perak dan batu berharga koleksiku sepanjang jalan menuju kuburanku. Sedang permintaan yang ketiga adalah tolong kedua tanganku dibiarkan terentang keluar peti jenasah."
Semua yang hadir heran dengan permintaan yang aneh itu, tetapi tidak ada yang berani menanyakannya sedangkan sang jenderal kesayangan Alexander mencium tangannya lalu mendekapnya ke dada sambil berjanji.

"Baiklah Sang Raja, kami berjanji akan memenuhinya, tetapi katakanlah seperti itu?"

Setelah menarik napas dalam, Alexander Agung menjawab:
"Saya ingin dunia tahu tiga pelajaran yang saya dapatkan dalam kehidupan ini. Saya ingin doketr yang merawatku memikul jenasahku untuk memberi pesan kepada dunia bahwa tidak ada dokter mana pun yang bisa membantumu dalam situasi kritis seperti yang saya alami. Mereka tidak berdaya menyembuhkan aku. Karena itu kalian semua jangan menyia-nyiakan kehidupanmu.

Kemudian dengan menaburkan emas, perak dan batu berharga yang saya koleksi memberi pelajaran bahwa tidak sedikutpun emas atau kekayaan akan kita bawa mati. Makanya jangan membuang waktu dengan mengumpulkan kekayaan saja sedangkan akhirnya tidak sedikit pun yang engkau bawa ketika meninggalkan dunia ini.

Dan yang ketiga, dengan kedua tangan saya terentang keluar peti jenasah, memberi pengajaran kepada dunia bahwa aku datang ke dunia ini dengan tangan kosong dan aku meninggalkan dunia ini juga dengan tangan kosong."

Alexander Agung pun menghembuskan napas terakhir beberapa saat setelah menyampaikan kata-kata terakhirnya: " Bury my body, do not build any monument, keep mu hands outside so that the world knows the person who won the world had nothing in his hands when dying." (kubur tubuhku, jangan bangun monumen apapun untuk mengenangku), jaga tanganku tetap di luar sehingga dunia tahu bahwa seseorang yang telah memenangkan dunia tidak memiliki apapun di tangannnya ketiaka ia mati).

Kita tidak harus menunggu saat kritis seperti Alexander untuk menyadari hal-hal penting dalam kehidupan ini. Yaitu suatu saat ketika semua atribut dalam perjalanan karier dan kehidupan ini ditanggalkan.

Mari kita refleksikan diri melalui pertanyaan ini: SIAPAKAH SAYA, SETELAH SEMUA ATRIBUT DITANGGALKAN?



Sumber : Majalah Nurul Hayat Juni 2013