Pemanasan
global adalah kejadian meningkatnya temperatur
rata-rata atmosfer,
laut dan daratan Bumi. Planet Bumi telah
menghangat (dan juga mendingin) berkali-kali selama 4,65 milyar tahun
sejarahnya. Pada saat ini, Bumi menghadapi pemanasan yang cepat, yang oleh para
ilmuan dianggap disebabkan aktifitas manusia. Penyebab
utama pemanasan ini adalah pembakaran bahan
bakar fosil, seperti batu bara, minyak bumi,
dan gas alam,
yang melepas karbondioksida dan gas-gas lainnya yang dikenal
sebagai gas rumah kaca ke atmosfer. Ketika atmosfer semakin
kaya akan gas-gas rumah kaca ini, ia semakin menjadi insulator yang menahan
lebih banyak panas dari Matahari yang dipancarkan ke Bumi.
Rata-rata
temperatur permukaan Bumi sekitar 15°C (59°F). Selama seratus tahun terakhir,
rata-rata temperatur ini telah meningkat sebesar 0,6 derajat Celsius (1 derajat
Fahrenheit). Para ilmuan memperkirakan pemanasan lebih jauh hingga 1,4 - 5,8
derajat Celsius (2,5 - 10,4 derajat Fahrenheit) pada tahun 2100. Kenaikan
temperatur ini akan mengakibatkan mencairnya es di kutub dan menghangatkan
lautan, yang mengakibatkan meningkatnya volume lautan serta menaikkan
permukaannya sekitar 9 - 100 cm (4 - 40 inchi), menimbulkan banjir di daerah
pantai, bahkan dapat menenggelamkan pulau-pulau. Beberapa daerah dengan iklim yang hangat
akan menerima curah hujan yang lebih tinggi, tetapi tanah juga akan lebih cepat
kering. Kekeringan tanah ini akan merusak tanaman bahkan menghancurkan suplai
makanan di beberapa tempat di dunia. Hewan dan tanaman akan bermigrasi ke arah
kutub yang lebih dingin dan spesies yang tidak mampu berpindah akan musnah.
Potensi kerusakan yang ditimbulkan oleh pemanasan global ini sangat besar
sehingga ilmuan-ilmuan ternama dunia menyerukan perlunya kerjasama
internasional serta reaksi yang cepat untuk mengatasi masalah ini.
Energi
yang menerangi Bumi datang dari Matahari. Sebagian besar energi yang membanjiri
planet kita ini adalah radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya
tampak. Ketika energi ini mengenai permukaan Bumi, ia berubah dari cahaya
menjadi panas dan menghangatkan Bumi. Permukaan Bumi, akan memantulkan kembali
sebagian dari panas ini sebagai radiasi infra merah gelombang panjang ke
angkasa luar; walaupun sebagian tetap terperangkap di atmosfer Bumi. Gas-gas
tertentu di atmosfer termasuk uap air, karbondioksida,
dan metana,
menjadi perangkap radiasi ini. Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali
radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan akibatnya panas tersebut akan
tersimpan di permukaan Bumi. Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana kaca dalam rumah kaca
sehingga gas-gas ini dikenal sebagai gas
rumah kaca. Dengan semakin meningkatnya konsentrasi gas-gas ini di atmosfer,
semakin banyak panas yang terperangkap di bawahnya.
Semua
kehidupan di Bumi tergantung pada efek rumah kaca ini, karena tanpanya, planet
ini akan sangat dingin sehingga es akan menutupi seluruh permukaan Bumi. Akan
tetapi, bila gas-gas ini semakin berlebih di atmosfer, akibatnya adalah
pemanasan Bumi yang terus berlanjut.
Para
ilmuan juga telah lama menduga bahwa iklim global semakin
menghangat, tetapi mereka tidak mampu memberikan bukti-bukti yang tepat.
Temperatur terus bervariasi dari waktu ke waktu dan dari lokasi yang satu ke
lokasi lainnya. Perlu bertahun-tahun pengamatan iklim untuk memperoleh
data-data yang menunjukkan suatu kecenderungan (trend) yang jelas. Catatan pada
akhir 1980-an agak memperlihatkan kecenderungan penghangatan ini, akan tetapi
data statistik ini hanya sedikit dan tidak dapat dipercaya. Stasiun cuaca pada awalnya, terletak dekat dengan
daerah perkotaan sehingga pengukuran temperatur akan dipengaruhi oleh panas
yang dipancarkan oleh bangunan dan kendaraan dan juga panas yang disimpan oleh
material bangunan dan jalan. Sejak 1957, data-data diperoleh dari stasiun cuaca
yang terpercaya (terletak jauh dari perkotaan), serta dari satelit.
Data-data ini memberikan pengukuran yang lebih akurat, terutama pada 70 persen
permukaan planet yang tertutup lautan. Data-data yang lebih akurat ini
menunjukkan bahwa kecenderungan menghangatnya permukaan Bumi benar-benar
terjadi. Jika dilihat pada akhir abad ke-20, tercatat bahwa sepuluh tahun
terhangat selama seratus tahun terakhir terjadi setelah tahun 1980, dan tiga
tahun terpanas terjadi setelah tahun 1990, dengan 1998 menjadi yang paling
panas.
Dalam
laporan yang dikeluarkannya tahun 2001, Intergovernmental Panel on
Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa temperatur udara global telah
meningkat 0,6 derajat Celsius (1 derajat Fahrenheit) sejak 1861. Panel setuju
bahwa pemanasan tersebut terutama disebabkan oleh aktifitas manusia yang
menambah gas-gas rumah kaca ke atmosfer. IPCC memprediksi peningkatan
temperatur rata-rata global akan meningkat 1,4 - 5,8 derajat Celsius (2,5 -
10,4 derajat Fahrenheit) pada tahun 2100.
IPCC
panel juga memperingatkan, bahwa meskipun konsentrasi gas di atmosfer tidak
bertambah lagi sejak tahun 2100, iklim tetap terus menghangat selama periode
tertentu akibat emisi yang telah dilepaskan sebelumnya. Karbondioksida akan
tetap berada di atmosfer selama seratus tahun atau lebih sebelum alam mampu
menyerapnya kembali. Jika emisi gas rumah kaca terus meningkat, para ahli
memprediksi, konsentrasi karbondioksioda di atmosfer dapat meningkat hingga
tiga kali lipat pada awal abad ke-22 bila dibandingkan masa sebelum era
industri. Akibatnya, akan terjadi perubahan iklim secara dramatis. Walaupun
sebenarnya peristiwa perubahan iklim ini telah terjadi beberapa kali sepanjang
sejarah Bumi, manusia akan menghadapi masalah ini dengan resiko populasi yang
sangat besar.
Para
ilmuan memperkirakan bahwa selama pemanasan global, daerah bagian Utara dari
belahan Bumi Utara (Northern Hemisphere) akan memanas lebih dari daerah-daerah
lain di Bumi. Akibatnya, gunung-gunung es akan mencair dan daratan akan
mengecil. Akan lebih sedikit es yang terapung di perairan Utara tersebut.
Daerah-daerah yang sebelumnya mengalami salju ringan, mungkin tidak akan
mengalaminya lagi. Pada pegunungan di daerah subtropis, bagian yang ditutupi
salju akan semakin sedikit serta akan lebih cepat mencair. Musim tanam akan
lebih panjang di beberapa area. Temperatur pada musim
dingin dan malam hari akan cenderung untuk meningkat.
Daerah
hangat akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang menguap dari
lautan. Para ilmuan belum begitu yakin apakah kelembaban
tersebut malah akan meningkatkan atau menurunkan pemanasan yang lebih jauh
lagi. Hal ini disebabkan karena uap air merupakan gas
rumah kaca, sehingga keberadaannya akan meningkatkan efek insulasi pada atmosfer. Akan tetapi, uap air yang lebih
banyak juga akan membentuk awan yang lebih banyak, sehingga akan memantulkan
cahaya Matahari kembali ke angkasa luar, di mana hal ini akan menurunkan proses
pemanasan (lihat siklus air). Kelembaban yang tinggi akan meningkatkan
curah hujan, secara rata-rata, sekitar 1 persen untuk setiap derajat Fahrenheit
pemanasan. (Curah hujan di seluruh dunia telah meningkat sebesar 1 persen dalam
seratus tahun terakhir ini). Badai akan menjadi lebih sering. Selain itu, air akan lebih
cepat menguap dari tanah. Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering
dari sebelumnya. Angin akan bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola yang
berbeda. Topan badai (hurricane) yang memperoleh kekuatannya dari penguapan
air, akan menjadi lebih besar. Berlawanan dengan pemanasan yang terjadi,
beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan terjadi. Pola cuaca menjadi
tidak terprediksi dan lebih ekstrim.(Dikutip darihttp://id.wikipedia.org.)
Ø
Perdebatan tentang pemanasan global
Tidak
semua ilmuan setuju tentang keadaan dan akibat dari pemanasan global. Beberapa
pengamat masih mempertanyakan apakah temperatur benar-benar meningkat. Yang
lainnya mengakui perubahan yang telah terjadi tetapi tetap membantah bahwa
masih terlalu dini untuk membuat prediksi tentang keadaan di masa depan.
Kritikan seperti ini juga dapat membantah bukti-bukti yang menunjukkan
kontribusi manusia terhadap pemanasan global dengan berargumen bahwa siklus
alami dapat juga meningkatkan temperatur. Mereka juga menunjukkan fakta-fakta
bahwa pemanasan berkelanjutan dapat menguntungkan di beberapa daerah.
Para
ilmuan yang mempertanyakan pemanasan global cenderung menunjukkan tiga
perbedaan yang masih dipertanyakan antara prediksi model pemanasan global
dengan perilaku sebenarnya yang terjadi pada iklim. Pertama, pemanasan
cenderung berhenti selama tiga dekade pada pertengahan abad ke-20; bahkan ada
masa pendinginan sebelum naik kembali pada tahun 1970-an. Kedua, jumlah total
pemanasan selama abad ke-20 hanya separuh dari yang diprediksi oleh model.
Ketiga, troposphere, lapisan atmosfer terendah, tidak memanas
secepat prediksi model. Akan tetapi, pendukung adanya pemanasan global yakin
dapat menjawab dua dari tiga pertanyaan tersebut.
Kurangnya
pemanasan pada pertengahan abad disebabkan oleh besarnya polusi
udara yang menyebarkan partikulat-partikulat, terutama sulfat, ke atmosfer. Partikulat ini, juga dikenal sebagai aerosol,
memantulkan sebagian sinar Matahari kembali ke angkasa luar. Pemanasan
berkelanjutan akhirnya mengatasi efek ini, sebagian lagi karena adanya kontrol
terhadap polusi yang menyebabkan udara menjadi lebih bersih.
Keadaan
pemanasan global sejak 1900 yang ternyata tidak seperti yang diprediksi
disebabkan penyerapan panas secara besar oleh lautan. Para ilmuan telah lama
memprediksi hal ini tetapi tidak memiliki cukup data untuk membuktikannya. Pada
tahun 2000, U.S. National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA)
memberikan hasil analisa baru tentang temperatur air yang diukur oleh para
pengamat di seluruh dunia selama 50 tahun terakhir. Hasil pengukuran tersebut
memperlihatkan adanya kecenderungan pemanasan: temperatur laut dunia pada tahun
1998 lebih tinggi 0,2 derajat Celsius (0,3 derajat Fahrenheit) daripada
temperatur rata-rata 50 tahun terakhir, ada sedikit perubahan tetapi cukup
berarti.
Pertanyaan
ketiga masih membingungkan. Satelit mendeteksi lebih sedikit pemanasan di
troposphere dibandingkan prediksi model. Menurut beberapa kritikus, pembacaan
atmosfer tersebut benar, sedangkan pengukuran atmosfer dari permukaan Bumi
tidak dapat dipercaya. Pada bulan Januari 2000, sebuah panel yang ditunjuk oleh
National Academy of Sciences untuk membahas masalah ini mengakui bahwa
pemanasan permukaan Bumi tidak dapat diragukan lagi. Akan tetapi, pengukuran
troposphere yang lebih rendah dari prediksi model tidak dapat dijelaskan secara
jelas.(Dikutip darihttp://id.wikipedia.org)
Ø
Pengendalian pemanasan global
Konsumsi
total bahan bakar fosil di dunia meningkat sebesar 1
persen per-tahun. Langkah-langkah yang dilakukan atau yang sedang diskusikan
saat ini tidak ada yang dapat mencegah pemanasan global di masa depan.
Tantangan yang ada saat ini adalah mengatasi efek yang timbul sambil melakukan
langkah-langkah untuk mencegah semakin berubahnya iklim di masa depan.
Kerusakan
yang parah dapat diatasi dengan berbagai cara. Daerah pantai dapat dilindungi
dengan dinding dan penghalang untuk mencegah masuknya air laut. Cara lainnya,
pemerintah dapat membantu populasi di pantai untuk pindah ke daerah yang lebih
tinggi. Beberapa negara, seperti Amerika Serikat, dapat menyelamatkan tumbuhan
dan hewan dengan tetap menjaga koridor (jalur) habitatnya, mengosongkan tanah
yang belum dibangun dari selatan ke utara. Spesies-spesies dapat secara
perlahan-lahan berpindah sepanjang koridor ini untuk menuju ke habitat yang
lebih dingin.
Ada
dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas rumah kaca.
Pertama, mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan menyimpan gas
tersebut atau komponen karbon-nya di tempat lain. Cara ini disebut carbon
sequestration (menghilangkan karbon). Kedua, mengurangi produksi gas rumah
kaca.
Cara
yang paling mudah untuk menghilangkan karbondioksida di udara adalah dengan
memelihara pepohonan dan menanam pohon lebih banyak lagi. Pohon, terutama yang muda dan cepat
pertumbuhannya, menyerap karbondioksida yang sangat banyak, memecahnya melalui
fotosintesis, dan menyimpan karbon dalam kayunya. Di seluruh
dunia, tingkat perambahan hutan telah mencapai level yang mengkhawatirkan. Di banyak
area, tanaman yang tumbuh kembali sedikit sekali karena tanah kehilangan
kesuburannya ketika diubah untuk kegunaan yang lain, seperti untuk lahan
pertanian atau pembangunan rumah tinggal. Langkah untuk mengatasi hal ini
adalah dengan penghutanan kembali yang berperan dalam mengurangi semakin
bertambahnya gas rumah kaca.
Gas
karbondioksida juga dapat dihilangkan secara langsung. Caranya dengan
menyuntikkan (menginjeksikan) gas tersebut ke sumur-sumur minyak untuk
mendorong agar minyak bumi keluar ke permukaan (lihat Enhanced Oil Recovery). Injeksi juga bisa
dilakukan untuk mengisolasi gas ini di bawah tanah seperti dalam sumur minyak,
lapisan batubara atau aquifer. Hal ini telah dilakukan di salah satu anjungan pengeboran lepas pantai Norwegia, di
mana karbondioksida yang terbawa ke permukaan bersama gas alam
ditangkap dan diinjeksikan kembali ke aquifer sehingga tidak dapat kembali ke
permukaan.
Salah
satu sumber penyumbang karbondioksida adalah pembakaran bahan bakar fosil.
Penggunaan bahan bakar fosil mulai meningkat pesat sejak revolusi
industri pada abad ke-18. Pada saat itu, batubara
menjadi sumber energi dominan untuk kemudian digantikan oleh minyak bumi
pada pertengahan abad ke-19. Pada abad ke-20, energi gas mulai biasa digunakan
di dunia sebagai sumber energi. Perubahan tren penggunaan bahan bakar fosil ini
sebenarnya secara tidak langsung telah mengurangi jumlah karbondioksida yang
dilepas ke udara, karena gas melepaskan karbondioksida lebih sedikit bila
dibandingkan dengan minyak apalagi bila dibandingkan dengan batubara. Walaupun
demikian, penggunaan energi terbaharui dan energi
nuklir lebih mengurangi pelepasan karbondioksida ke udara. Energi nuklir,
walaupun kontroversial karena alasan keselamatan dan limbahnya yang berbahaya,
bahkan tidak melepas karbondioksida sama sekali.
Ø
Pengukuran
dan Penelitian Cadangan Karbon.
Kondisi
pemanasan global ini jika tidak ditangani dengan serius, cepat atau lambat akan
menjadi ancaman bagi penduduk global yang hanya memiliki satu bumi dan satu
atmosfer ini. Dengan persoalan global warming ini, para ahli dari IKA dan
Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya bekerja sama dalam satu tim melakukan pengukuran
dan penelitian tentang cadangan karbon (C) di kawasan suaka marga satwa hutan Nantu,
Gorontalo-Sulawesi. Seperti yang diketahui, hutan memiliki peranan yang sangat
strategis dalam mengurangi pemanasan global.
Pemberangkatan
tim dimulai dari Mulyoholo, sebuah desa yang terletak dipinggir sungai
Paguyaman. Sungai ini merupakan akses satu-satunya menuju wilayah Uly dan merupakan
sumber air utama warga yang banyak bermukim di wilayah ini. Disisi badan sungai
Paguyaman ini banyak berupa areal/lahan terbuka, wilayah ini asalnya merupakan
kawasan hutan yang telah berubah fungsi menjadi ladang dan pemukiman penduduk.
Hilangnya hutan menyebabkan Daerah Aliran Sungai (DAS) Paguyaman kerap terjadi
erosi dan mengalami pendangkalan.
Ø
Pemilihan
Hutan Nantu sebagai Objek Penelitian dan pengukuran Cadangan Karbon (C).
Pemilihan
hutan Nantu sebagai objek penelitian dan pengukuran cadangan karbon (C) yang
tersimpan dikarenakan wilayah suaka marga satwa hutan Nantu ini akan sangat
berperan dalam hal mengurangi efek pemanasan global. Hutan Nantu memiliki luas
21.150 hektar dengan ekosistem beraneka jenis hewan endemik sulawesi yang hidup
di hutan hujan tropis ini, semisal satwa babirusa (babyrousa babyrussa) yang hanya ditemukan di Sulawesi ini.
Tim
peneliti yang dipimpin Prof.Dr.Ir.Kurniatun Hairiah melakukan pengukuran persediaan
cadangan karbon di kawasan hutan Nantu. Pengukuran persediaan karbon
menggunakan metode transek dan dengan cara tidak agar tidak merusak hutan, luas
areal yang diukur sekitar 200 m2, berdasarkan hasil perhitungan
sementara cadangan karbon yang tersimpan di hutan Nantu sekitar 200-300 ton per
hektar, dimana 50-60 persen karbon tersimpan sebagai biomass pohon yang
berukuran besar dengan diameter lebih dari 30 cm.
Konversi
hutan menjadi pemukiman dan ladang penduduk telah mengurangi luasan hutan Nantu
secara signifikan, kondisi ekosistem lingkungan seperti ini tentu sangat
mempengaruhi jumlah karbon yang tersimpan, dan pelepasan CO2 ke
atmosfer yang menyebabkan pemanasan global.
Di
dalam menentukan besarnya cadangan karbon atau persediaan karbon atau berkaitan
dengan penyerapan karbon di udara ditentukan oleh besarnya batang tanaman dan
lama/umur tanaman. Semisal tanaman dengan biomassa 3 ton, itu berarti simpanan
karbon kurang lebih 1,5 sampai 2 ton karbon. Menurut petani, praktek yang
digunakan ada pembakaran sisa-sisa panen yang berarti telah melepaskan CO2
lagi ke udara, jadi penyerapan karbon di udara kurang dan pelepasannyapun
tetap masih tinggi. Pepohonan yang sudah mati dan masih tegak tidak melepaskan
karbon ke udara dan masih tetap tersimpan dalam pohon tersebut, sedangkan tanaman
pohon-pohonan yang besar, hidup dan berkembang itu yang berperan menyerap
karbon dari udara. Jadi dengan sistem penanaman tanaman monokultur yang
ditumpangsarikan dengan tanaman pohon-pohonan, sistem ini merupakan solusi dan
rekomendasi yang sesuai untuk menanggulangi pemanasan global.
Upaya
untuk mengurangi pemanasan global secara konsisten harus melibatkan masyarakat
dunia, karena pengaruhnya ditanggung oleh masyarakat dunia. Rusaknya hutan
merupakan salah satu sebab utama terjadinya efek pemanasan global, dan saat ini
Indonesia menempati peringkat ke-3 sebagai penghasil emisi gas rumah kaca
terbesar di dunia ditinjau dari indikator konversi lahan dan pengrusakan hutan.
Kandungan
karbon tidak hanya tersimpan dalam tanaman hidup, tetapi juga bagian tanaman
yang telah mati baik di atas tanah maupun yang berada di dalam tanah. Oleh karena itu, membiarkan daun-daun, ranting, dan
pohon mati di permukaan tanah tanpa membakar berarti kita telah mengurangi
emisi gas CO2 di udara dan pada gilirannya bahan organik tanah
sangat menguntungkan tanaman karena menjamin pertumbuhan tanaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar